Posted by : alia machmudia Rabu, 28 November 2012

Mengenang saat aku medatangi pernikahan Masuri, kawan SMA ku :)



_My Room , 2012_

Lagi. Untuk ke sekian kali, aku mendatangai resepsi pernikahan teman sebayaku. Seperti mimpi saat kulihat Suri dan istrinya yang cantik bersanding di pelaminan yang sederhana. Senyum merekah dari keduanya menyebarkan rasa bahagia pada seluruh tamu yang hadir. Sambil bergenggaman jemari, sesekali Suri berbisik dekat pada gadis yang telah menjadi istrinya. Seorang gadis pilihannya, yang ia suka, yang ia sayangi. Siapa sangka dari seluruh kawan-kawanku di SMA Muhamamdiyah Kedungtuban dulu Suri adalah juaranya :D

“Ruh-ruh itu laksana pasukan tentara yang dimobilisir. Yang saling mengenal dapat berkasih sayang. Sedang yang tidak saling suka akan senantiasa berlawanan” (HR. Al bukhari, Muslim, Ahmad, riwayat dari Abu Hurairah)

Pernikahan Suri menjadi renungan untukku. Keputusannya untuk menikah muda saat berusia 21 tahun dan istrinya yang berusia 18 tahun membuatku sangat terkesima. Suri adalah teman sekelasku saat aku dan dia bersama-sama duduk di kelas X-I SMA Muhammadiyah Kedungtuban . Hampir 7 tahun aku mengenalnya ternyata tak ada perubahan yang berarti dalam dirinya. Ia tetap seorang Suri yang kukenal saat SMA dulu. Suri yang selalu humoris dan kadang cuek pada keadaan sekitar. Dari dulu.. hingga kini. Tapi siapa sangka ternyata dalam urusan pernikahan ia lebih matang dari kawan-kawannya yang lain.

Bagi sebagian orang, termasuk Suri, yang telah siap mengemban ‘mitsaqon- ghalizha’ sebuah perjanjian yang tercantum dalam Al-Qur’an sebagai perjanjian yang sangat berat, tentulah menyadari status dan tugas barunya. Ia bukan saja karyawan swasta yang bertugas pada pekerjaannya, tapi juga seorang suami dan calon ayah yang bertanggungjawab bagi keluarganya.

Keputusan Suri untuk menikah dini adalah hebat. Keputusan teman-temanku yang lain untuk menikah sebelum Suri atau yang sesudahnya nanti pun hebat.

Menikah dini atau menikah nanti sesungguhnya sama-sama hebat. Tergantung konteks. Menikah dini dengan alasan telah siap lahir bathin, menyambung tali kasih sayang, menjaga kesucian dan menjaga kehormatan diri, menghasilkan banyak anak-anak hebat di kondisi orangtua yang masih produktif dan sehat tentu alasan yang tepat. Menikah nanti dengan alasan merasa belum mampu untuk menambah tanggungjawab dan merasa masih mampu menahan gejolak hasratnya sehingga memilih untuk terus mengisi dan memperbaiki diri terlebih dahulu, itu pun adalah orang hebat.

Bukankah memperbaiki diri berarti memperbaiki jodoh...???

Mereka adalah orang-orang yang menyadari tak mudah membagi konsentrasi hingga memilih untuk fokus bekerja, fokus mencari pengalaman, fokus menaikkan kualitas diri dengan terus belajar. Tentunya belajar dalam artian luas. Belajar pada siapapun, kapanpun, dimanapun, pada apapun yang membuat dirinya menjadi pribadi yang cerdas dan matang, atau ada beberapa kasus bahwa ia kemudian menjadi tulang punggung keluarga hingga fokus untuk membantu perekonomian, menyekolahkan adik-adik, membahagiakan orang-orang yang telah begitu berjasa dalam hidupnya. Tidakkah itu golongan orang-orang hebat, ketika ‘kebahagiaan pribadi’ itu pun rela disingkirkan untuk sementara waktu karena kecintaannya pada keluarganya?

Hadiah Ulang Tahun yang kemaren :D
Banyak buku bertebaran kini dengan tujuan mengajak menikah muda. Biasanya buku-buku dengan genre seperti itu, laris di pasaran. Market-nya siapa lagi kalau bukan para anak muda. Begitu pula dengan majelis-majelis yang pasti selalu saja ramai didatangi kalau yang menjadi tema tak jauh-jauh tentang menikah muda. Ada asap pastilah ada api.
Buku-buku atau tema-tema itu menjadi sedemikian booming-nya tentu menjadi alasan tersendiri bagi mereka yang prihatin melihat keadaan anak muda masa kini. Daripada ‘aneh-aneh’, ayo menikah! Begitulah kira-kira yang bisa kusimpulkan.

Dampaknya bisa macam-macam. Dampak positifnya para anak muda akan termotivasi untuk menikah. Termotivasi mempersiapkan kondisi lahir bathin-nya untuk bersanding
dengan pujaan hati yang telah lama menjadi idamannya. Yang malas belajar jadi semangat belajar. Yang santai-santai saja mencari penghasilan, jadi semangat dalam bekerjanya. Wow.. indah bukan? Kalau seperti ini aku pun setuju.

Tapi kulihat ada beberapa teman setelah membaca buku atau mendatangi majelis biasanya semangat menikah begitu menggelora di dada. Terpesona pada kenikmatan yang di dapat dalam pernikahan. Lupa bahwa menikah dikatakan menyempurnakan setengah dien dikarenakan begitu berat perjalanan yang akan dilalui.Belum ada persiapan apa-apa langsung tancep gas saja ingin menikah. Seperti perang. Pisau belum diasah, masih tumpul, sudah main terjun aja ke lapangan. Atau baru punya pisau satu yang tajam, langsung tergesa-gesa ingin bertarung aja. Belum apa-apa musuh udah membuat kita KO dengan senapannya. Maka sebelum berperang, paling tidak sudah punya persiapan pisau, senapan kalau bisa bom sekalian agar bisa menang dalam pertarungan. Hehe..
Maksudku di sini, paling tidak memiliki persiapan yang cukup menuju ke mahligai pernikahan. Masih ingat tulisanku sebelumnya? Bukankah gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan?

Menikah hanya dengan alasan keinginan untuk melindungi dan dilindungi, keinginan untuk disayang dan menyayangi, diperhatikan dan memperhatikan, ditemani dan menemani agar tak kesepian atau sejenisnya tidaklah cukup. Menikah bukan perkara sesederhana itu. Menikah adalah perkara tanggungjawab. .. Pertanyaannya kemudian, siapkah kita menjalani tanggungjawab itu? Tanggungjawab untuk mencari nafkah bagi lelaki dan mengurus rumah tangga bagi perempuan. Menyiapkan sedini mungkin tabungan untuk segala perkara yang tak terduga ( biaya pendidikan, berobat dll). Walau memang pernikahan memperluas rizki, tapi tak berarti ‘nekat’ menikah tanpa memiliki tabungan sedikit pun, bukan? Tentunya kita selalu ingin memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang disayangi. Maka persiapkanlah itu. Tak perlu lantas menunggu menjadi seorang yang kaya raya dahulu baru menikah. Paling tidak memiliki semangat dalam upaya mencari nafkah (dalam artian memiliki sikap mandiri yang wajib diemban bagi mereka yang memilih untuk menikah).memiliki semangat dalam upaya untuk terus belajar dan menyerap ilmu (karena lelaki menjadi Suri yang tentu saja harus butuh ilmu untuk membimbing keluarganya. Pun seorang wanita yang menjadi guru pertama bagi anak-anaknya kelak).

Menikah cepat itu baik tapi tidak berarti tergesa-gesa. Tergesa-gesa dikhawatirkan berujung pada kecewa. Salah satu contoh menikah tergesa-gesa, adalah ( pembelajaran bagi kita semua), tak terlalu mengenal sang calon, sudah terbuai dulu pada sosoknya yang begitu kharismatik, ternyata setelah menikah baru ketahuan telah memiliki istri lain.Ingatkan kasus artis kita yang sempat merajai pemberitaan media masa di negeri ini? Contoh lain, setelah menikah ternyata malah merepotkan orang lain. Tak menyangka bahwa begitu banyak persoalan dalam rumah tangga hingga orangtua, kerabat, teman-teman ikut dilibatkan. Waah.. ternyata belum bisa untuk mandiri…

Berhati-hati agar tidak tergesa-gesa menikah berbeda dengan menunda-nunda pernikahan. “Nanti setelah lulus kuliah baru menikah”, setelah lulus sarjana muncul perkataan lain, “setelah S2 dulu deh baru nikah”, “setelah kerja aja deh nikahnya” atau.. “setelah posisiku di kerjaan settle dulu deh”..setelah ini setelah itu dst.. Sampai akhirnya terus menunda.. entah sampai kapan.. bukan seperti itu. Jadi teringat joke salah seorang temanku perihal sikap wanita terhadap lelaki yang mendekati. Wanita berusia 18- 25 tahun, “nanti dulu deh”. 26- 30 tahun,” boleh deh” 31 tahun ke atas, “yang mana aja deh”. hehe…

Sekedar ice breaking:). Ya, apabila telah mengenal calon dan keluarganya dengan baik,
siap lahir batin ditambah sudah tak mampu lagi menahan hasrat, untuk apalagi menunda?

Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda, “3 orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan..Seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya” (HR. Thabrani)

Suri, yang kini telah menjadi Suri bagi istrinya, semoga adalah orang yang termasuk diberi pertolongan oleh Allah.. amin..

Mungkin Suri berhak mendapatkan Sebuah piala perak, bertuliskan…

Piala ini milik lelaki sejati. Menjadi juara adalah keberanian menentukan sikap, bukan menunggu waktu hingga datang kedewasaan bersikap. Selamat pada kau yang sedang menggenggamnya…
Tanda bangga cinta kami padamu, Kawan

Selamat untuk Suri dan istrinya yang telah mengikrarkan janji setia sehidup dan tak semati ( soalnya kalau meninggal kita sendirian di liang kubur hehe..).. selamat menjalani lika liku rumah tangga sedalam samudera dan setinggi langit di angkasa ( kok jadi lagu cinta matinya Agnes Monica?..).

Semoga Allah memberi berkah kepadamu di waktu senang dan susah serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan…
.
Semoga Allah menganugerahi kalian keturunan sebagai penyenang hati kedua orangtuanya…

Amin ya Rabb..

_My Room , 2012_

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

created by Ipmawati Alia. Diberdayakan oleh Blogger.
Welcome to My Blog

Blog Archive

Popular Post

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

- Copyright © Diary Jomblo Sakinah -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -